Edema didefinisikan sebagai peningkatan volume cairan interstitial yang tampak secara klinis. Peningkatan volume ini dapat mencapai beberapa liter sebelum kelainan tampak. Karena itu, penambahan berat badan beberapa kilogram biasanya mendahului manifestasi edema, dan diuresis dapat menginduksi kehilangan berat badan dalam jumlah yang sama pada pasien edema ringan sebelum mencapai “berat badan kering”. Asites dan hidrotoraks diartikan sebagai akumulasi cairan berlebihan dalam rongga peritoneum dan rongga pleura. Kedua keadaan ini dianggap sebagai bentuk khusus dari edema. Anasarka adalah edema seluruh tubuh yang tampak mencolok.
Menurut penyebab dan mekanisme terjadinya, edema dapat terlokalisir atau generalisata. Edema tampak sebagai bengkak di wajah, biasanya tampak paling jelas di daerah periorbital, dan adanya indentasi kulit setelah penekanan, hal ini dikenal sebagai “pitting” edema. Edema dapat juga dideteksi dari keluhan pasien, misalnya cincin yang menjadi sempit, atau kesulitan memakai sepatu.
Obstruksi Drainase Vena (dan Limfatik) pada Ekstremitas
Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu dari obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari vaskuler ke ruang interstitial. Karena rute alternatif (yaitu limfatik) dapat juga mengalami obstruksi, maka terjadi peningkatan volume cairan interstital di ekstremitas (terdapat cairan terjebak dalam ekstremitas) yang menyebabkan edema lokal. Keadaan tersebut akan mengurangi volume darah efektif arteri.
Apabila obstruksi vena dan limfatik terjadi pada sebelah ekstremitas, cairan akan terakumulasi dalam interstitial, sehingga mengurangi volume plasma. Volume plasma yang berkurang akan merangsang retensi garam dan air sampai defisist volume plasma terkoreksi. Pada ekstremitas yang terkena akan terjadi regangan jaringan sampai keseimbangan hukum Starling dapat dicapai, di mana tidak terjadi lagi akumulasi cairan. Efek yang terjadi adalah peningkatan volume cairan interstitial lokal. Keadaan yang sama terjadi pada asites dan hidrotoraks, di mana cairan terjebak atau terakumulasi di dalam kavitas, mengurangi volume intravaskuler, dan menyebabkan retensi garam dan air sekunder.
Gagal Jantung Kongestif
Pada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau gangguan relaksasi ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan sirkulasi vena, sehingga menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai keadaan yang telah disebutkan di atas. Pada gagal jantung ringan, sedikit peningkatan volume darah total dapat memperbaiki defisit volume arteri dan membentuk keadaan yang stabil. Melalui kerja hukum Starling di jantung, peningkatan volume darah dalam ruang jantung menyebabkan kontraksi jantung yang lebih kuat dengan demikian dapat meningkatkan curah jantung. Namun, apabila gangguan jantung yang terjadi lebih berat, retensi cairan tidak dapat memperbaiki defisit volume darah arteri. Volume darah akan terakumulasi di sirkulasi vena, dan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler dan limfatik menyebabkan pembentukan edema. Pada gagal jantung, reduksi terjadi akibat penghambatan pusat vasomotor yang diperantarai oleh barorefleks. Hal ini akan menyebabkan aktivasi saraf vasokonstriktor ginjal dan sistem RAA sehingga terjadi retensi natrium dan air.
Pada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau gangguan relaksasi ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan sirkulasi vena, sehingga menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai keadaan yang telah disebutkan di atas. Pada gagal jantung ringan, sedikit peningkatan volume darah total dapat memperbaiki defisit volume arteri dan membentuk keadaan yang stabil. Melalui kerja hukum Starling di jantung, peningkatan volume darah dalam ruang jantung menyebabkan kontraksi jantung yang lebih kuat dengan demikian dapat meningkatkan curah jantung. Namun, apabila gangguan jantung yang terjadi lebih berat, retensi cairan tidak dapat memperbaiki defisit volume darah arteri. Volume darah akan terakumulasi di sirkulasi vena, dan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler dan limfatik menyebabkan pembentukan edema. Pada gagal jantung, reduksi terjadi akibat penghambatan pusat vasomotor yang diperantarai oleh barorefleks. Hal ini akan menyebabkan aktivasi saraf vasokonstriktor ginjal dan sistem RAA sehingga terjadi retensi natrium dan air.
Pengosongan ventrikel yang tidak komplit (gagal jantung sistolik) dan/atau relaksasi ventrikel yang tidak adekuat (gagal jantung diastolik), keduanya akan menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel. Jika gangguan jantung melibatkan ventrikel kanan, tekanan dalam vena sistemik dan kapiler dapat meningkat, akibatnya akan mendorong transudasi cairan ke dalam ruang interstitial dan memperburuk edema perifer. Peningkatan tekanan vena sistemik diteruskan ke duktus torasikus dengan konsekuensi terjadinya penurunan drainase limfatik dan akhirnya meningkatkan akumulasi edema.
Apabila gangguan fungsi jantung melibatkan ventrikel kiri, maka tekanan vena pulmonalis dan kapiler meningkat, begitu juga dengan tekanan arteri pulmonalis. Keadan ini selanjutnya akan mempengaruhi diastolik ventrikel kanan dan tekanan vena sentral serta sistemik, sehingga menyebabkan pembentukan edema perifer. Edema paru-paru mengganggu pertukaran gas sehingga dapat menginduksi hipoksia yang akan memperburuk fungsi jantung lebih jauh lagi.
Perubahan primer pada kelainan ini adalah menurunya tekanan onkotik koloid yang disebabkan oleh hilangnya protein secara masif melalui urin. Hal ini mendorong perpindahan cairan ke dalam interstitial, menyebabkan hipovolemia, dan mencetuskan pembentukan edema sebagai konsekuensi dari berbagai peristiwa di atas, termasuk aktivasi sistem RAA. Dengan adanya hipoalbuminemia berat dan penurunan tekanan onkotik koloid, maka retensi garam dan air dalam kompartemen vaskuler tidak dapat dipertahankan, akibatnya terjadi penurunan colume darah arteri total dan efektif, sehingga stimulus untuk terjadinya retensi garam dan air tidak dapat dikurangi. Peristiwa serupa terjadi pada keadaan lain yang menyebabkan hipoalbuminemia berat, termasuk defisiensi nutrisi berat, enteropati yang disertai kehilangan protein, hipoalbuminemia kongenital, dan penyakit hati kronis yang berat. Namun, pada sindroma nefrotik, yang berperan dalam pembentukan edema adalah gangguan ekskresi natrium di ginjal, walaupun tidak terjadi hipoalbuminemia berat.
Kelaianan ini ditandai dengan adanya hambatan aliran vena hepatik, yang selanjutnya menyebabkan ekspansi volume darah splanknik dan meningkatkan pembentukan limf hepatik. Hipertensi intrahepatik yang terjadi bekerja sebagai stimulus poten terhadap retensi natrium dalam ginjal dan mungkin terhadap vasodilatasi sistemik serta penurunan volume darah arteri efektif. Perubahan-perubahan ini seringkali disertai komplikasi berupa hipoalbuminemia sekunder untuk mengurangi sintesis di hepar, yang akan menurunakan volumedarah arteri efektif lebih jauh lagi. Akibatnya terjadiaktivasi sistem RAA oleh saraf simpatis renal dan mekanisme retensi garam dan air lainnya. Konsentrasi aldosteron dalam sirkulasi meningkat akibat kegagalan fungsi hati dalam metabolisme hormon ini. Pada mulanya, kelebihan cairan interstitial terlokalisir di bagian hulu dari kongesti sistem vena porta dan sumbatan limfatik hati, yaitu di rongga peritoneum. Pada tingkat lanjut, khususnya jika telah terjadi hipoalbuminemia berat, dapat terbentuk edema perifer. Produksi prostaglandin yang berlebihan pada sirosis akan mengurangi retensi natrium. Apabila sintesis prostaglandin tersebut dihambat oleh agen antiinflamasi nonsteroid, akan terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga retensi natrium akan meningkat.
Mekanisme terbentuknya edema meliputi vasokonstriksi renal (agen antiinflamasi nonsteroid dan siklosporin), dilatasi arteriol (vasodilator), peningkatan reabsorpsi natrium ginjal (hormon steroid) dan kerusakan kapiler (interleukin-2).
Sindroma ini, yang sebagian besar timbul pada wanita, ditandai dengan episode edema periodik (tidak berhubungan dengan siklus haid), seringkali disertai dengan distensi abdomen. Perubahan berat badan diurnal terjadi akibat retensi ortostatik garam dan air, sehingga berat badan penderita bertambah beberapa gram setelah berada dalam posisi tegak selama beberapa jam. Adanya perubahan berat diurnal yang besar pada berat badan diduga akibat peningakatan permeabilitas kapiler yang tampaknya berfluktuasi dalam derajat dan diperberat dengan cuaca panas. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa terjadi reduksi volume plasma pada kondisi ini disertai dengan aktivasi sekunder sistem RAA dan gagalnya supresi pelepasan AVP. Edema idiopatik harus dibedakan dari edema siklikal atau premenstrual, di mana retensi garam dan air yang terjadi mungkin sekunder akibat stimulasi estrogen berlebihan. Terdapat juga beberapa kasus di mana edema yang terjadi tampaknya diinduksi oleh diuretik. Konsumsi diuretik secara kronis akan sedikit menurunkan volume darah sehingga menyebabkan hiperreninemia dan hiperplasia jukstaglomerulus. Sedangkan efek langsung dari diuretik adalah kompensasi berlebihan dari mekanisme retensi garam, sehingga bila konsumsi diuretik dihentikan tiba-tiba, kekuatan untuk melawan retensi garam akah hilang, terjadi retensi cairan, akhirnya terbentuk edema. Telah dilaporkan terjadinya penurunan aktivitas dopamin dan kalikrein urin, serta eksresi kinin dalam kondisi tersebut, dan mungkin berperan penting dalam patogenesis.
Edema terlokalisir biasanya dapat segera dibedakan dari edema generalisata. Sebagian besar edema generalisata diderita oleh pasien dengan gangguan jantung, ginjal, hati, atau nutrisional tingkat lanjut.
JANTUNG
|
HATI
|
GINJAL
|
|
ANAMNESIS
|
Dispnea akibat aktivitas fisik (utama)
-sering disertai dengan ortopnea – atau PND
|
Dispnea jarang terjadi, kecuali bila
disertai dengan asites yang signifikan; tersering ada riwaya penyalahgunaan
etanol
|
Biasanya kronis : dapat disertai dengan
tanda dan gejala uremia. Dispnea dapat terjadi tapi biasanya kurang menonjol
dibandingkan pada gagal jantung.
|
PEMERIKSAAN
FISIK
|
Peningkatan JVP, S3 gallop: kadangkala
dengan denyut apikal diskinetik atau displaced; sianosis perifer, ekstremitas
dingin, tekanan nadi lemah bila berat
|
Sering disertai dengan asites; JVP normal
atau rendah; tekanan darah lebih rendah daripada penyakit jantung atau
ginjal; mungkin terdapat satu atau lebih tanda tambahan penyakit hati kronis
|
Tekanan darah mungkin naik, retinopati
hipertensif atau diabetik pada kasus tertentu; fetor nitrogen; edema
periorbital dapat menonjol; pericardial
frkction rub pada kasus tingkat lanjut dengan uremia.
|
LABORA-TORIUM
|
Sering terjadi peningkatan urea nitrogen
terhadap rasio kreatinin; peningkatan asam urat; natrium serum sering
menurun; enzim-enzim hati biasanya meningkat dengan kongesti hati.
|
Apabila berat, terjadi reduksi serum
albumin, kolesterol, dan protein hepatik lainnya; enzim hati meningkat
tergantung pada penyebab dan akutnya kerusakan hati; tendensi terhadap
hipokalemia, alkalosis respiratoir, makrositosis akibat defisiensi folat.
|
Albuminuria, hipoalbuminemia; kadangkala
serum kreatinini dan urea nitrogen meningkat; hiperkalemia, asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia (biasanya normositik).
|
Tabel 1. Diagnosis Banding Edema Generalisata
Edema akibat inflamasi atau hipersensitivitas biasanya dapat segera diidentifikasi. Edema terlokalisir yang berhubungan dengan obstruksi vena atau limfatik dapat disebabkan oleh tromboflebitis, limfangitis kronis, reseksi nodus limfatikus regional, filariasis, dll. Limfedema secara khusus dapat dikenali, karena restriksi aliran limfatik akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein dalam cairan interstitial, suatu keadaan yang memperberat retensi cairan.
Adanya penyakit jantung, yang dimanifestasikan dengan pembesaran jantung dan iirama gallop, bersama dengan adanya bukti-bukti gagal jantung seperti dipnea, rale basiler, distensi vena, dan hepatomegali, biasanya merupakan indikasi bahwa edema berasal dari gagal jantung.
Sindroma nefrotik ditandai dengan proteinuria yang menonjol (>3,5 g/dL), hipoalbuminemia (<3,0 g/L), dan pada beberapa keadaan terdapat hiperkolesterolemia. Sindroma ini dapat timbul dalam berbagai penyakit ginjal, termasuk glomerulonefritis, glomerulosklerosis diabetik, dan reaksi hipersensitivitas.
Edema yang timbul pada fase akut glomerulonefritis secara khas ditandai dengan hematuria, proteinuria, dan hipertensi. Walaupun beberapa bukti memperkuat pendapat bahwa retensi cairan disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler, namun pada sebagian besar kasus edema berasal dari retensi primer garam dan air oleh ginjal sebagai konsekuensi dari insufisiensi ginjal. Keadaan ini berbeda dengan gagal jantung kongestif yang ditandai dengan curah jantung normal (bahkan kadangkala meningkat) dan perbedaan oksigen arterial-mixed venous yang normal. Hasil rontgen dada pasien dengan edema akibat gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya kongesti paru-paru sebelum pembesaran jantung terjadi secara signifikan. Namun biasanya tidak terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis juga dapat mengalami edema akibat retensi primer garam dan air.
Terdapatnya asites dan bukti-bukti klinis maupun biokimiawi atas penyakit hati merupakan karakteristik edema yang berasal dari penyakit hati. Asites seringkali refrakter terhadap terapi karena disebabkan oleh kombinasi antara obstruksi drainase limfatik hati, hipertensi portal, dan hipoalbuminemia. Edema dapat juga timbul di bagian tubuh yang lain sebagai akibat dari hipoalbuminemia. Akumulasi cairan asites dalam jumlah tertentu dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan mengganggu aliran balik vena dari ekstremitas bawah, akibatnya terjadi edema di daerah ini.
Defisiensi protein dalam diet dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema. Edema dapat diperberat dengan timbulnya penyakit jantung beriberi, yang juga nutrisional, di mana fistula arteriovenous perifer yang terjadi menyebabkan penurunan perfusi sistemik efektif dan volume darah arteri efektif. Edema sebenarnya dapat memburuk apabila pasien langsung diberi diet yang adekuat. Konsumsi makanan yan glebih dari biasanya dapat meningkatkan kadar garam dalam tubuh, yang nantinya akan diretensi bersama air. Suatu keadaan yang disebut “refeeding edema” dihubungkan dengan peningkatan pelepasan insulin, yang secara langsung meningkatan reabsorpsi natirum di tubulus. Selain hipoalbuminemia, hipokalemia dan defisiensi kalori dapat menyebabkan edema nutrisional.
Penyebab lain edema termasuk hipotiroidisme, di mana edema (myxedema) secara khas berlokasi di daerah pretibia dan dapat disertai dengan sembab di periorbital. Hiperadrenokortisme eksogen, kehamilan, dan konsumsi estrogen serta vasodilator, khususnya antagonis kalsium (nifedipin), juga dapat menyebabkan edema.
Distribusi edema merupakan penuntun yang penting dalam menentukan penyebab edema. Edema yang terbatas pada satu tungkai atau sebelah atau kedua lengan biasanya akibat obstruksi vena dan/atau limfatik. Edema yang disebabkan oleh hipoproteinemia mempunyai karakteristik generalisata, tapi biasanya tampak lebih menonjol di kelopak mata dan wajah, terutama pada pagi hari akibat posisi berbaring selama malam hari sebelumnya. Penyebab edema fasial yang lebih jarang adalah trichinosis, reaksi alergi, dan myxedema. Di lain pihak, edema yang berhubungan dengan gagal jantung cenderung lebih menonjol di tungkai dan tampak semakin besar di malam hari. Apabila pasien gagal jantung menjalani tirah baring, edema tampak paling menonjol di daerah presacral. Edema unilateral biasanya berasal dari lesi di sistem saraf pusat yang berdampak pada serat vasomotor pada salah satu sisi tubuh. Paralisis juga menurunkan drainase limfatik dan vena pada sisi tubuh yang terkena.
Pertanyaan penting yang harus ditanyakan pertama kali adalah apakah edema terlokalisir atau generalisata. Hidrotoraks dan asites merupakan bentuk edema terlokalisir. Keduanya dapat merupakan konsekuensi dari obstruksi vena atau limfatik lokal, seperti pada penyakit inflamasi atau neoplasma.
Apabila edema terjadi generalisata, yang harus ditentukan pertama kali adalah : apakah terdapat hipoalbuminemia yang serius, misanya serum albumin < 2,5 gr/L. Jika ada, maka anamnesis, pemeriksaan fisik, urinalisis, dan data laboratorium lainnya akan membantu dalam evaluasi penyakit yang mendasari seperti sirosis, malnutrisi berat, gastroenteropati dengan kehilangan protein, atau sindroma nefrotik. Apabila tidak terdapat hipoalbuminemia, harus ditentukan apakah ada bukti gagal jantung kongestif sebagai pencetus edema generalisata. Akhirnya, harus ditentukan apakah pasien mengeluarkan urine dalam jumlah adekuat, atau apakah terdapat oliguria yang signifikan, atau bahkan anuria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar