Sabtu, 23 Februari 2013

Demam

Demam adalah suatu reaksi fisiologis tubuh yang kompleks terhadap penyakit, ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh di atas normal akibat rangsangan zat pirogen terhadap pengaturan suhu tubuh di hipotalamus. Pada orang dewasa suhu tubuh yang normal berkisar antara 36,1-37,7 C.

Suhu tubuh memiliki siklus diurnal dengan suhu terendah terjadi pada pukul 06.00 pagi dan suhu tertinggi pada pukul 16.00-18.00 sore. Seseorang dikatakan demam bila suhu tubuh di antara pukul 00.00-12.00 lebih dari 37,2 C dan di antara pukul 12.00-24.00 lebih dari 37,7 C. Seseorang disebut hiperpireksia bila suhu tubuh lebih dari 41,2 C dan hipotermia bila suhu tubuh kurang dari 35 C. 

Patofisiologi Demam 

Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh. Pirogen eksogen dapat berupa infeksi atau non infeksi yang akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit dan endotel untuk melepaskan interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan interferon-α (IFN-α) yang selanjutnya akan disebut pirogen endogen atau pirogen sitokin. 

Pirogen endogen ini setelah berikatan dengan reseptornya di daerah preoptik hipotalamus, akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2 yang selanjutnya melepas asam arakhidonat dari membran fosfolipid dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah menjadi prostaglandin-E2 (PGE2). Rangsangan prostaglandin inilah, baik secara langsung maupun melalui pelepasan siklik AMP, menset termostat pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini merupakan awal dari berlangsungnya reaksi terpadu sistem saraf otonom, sistem endokrin dan perubahan perilaku dalam terjadinya demam. 

Pusat panas di hipotalamus dan batang otak kemudian akan mengirimkan sinyal agar terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas sehingga suhu tubuh naik sampai tingkat suhu baru yang ditetapkan. Hal demikian dapat dicapai dengan vasokonstriksi pembuluh darah kulit, sehingga darah (dan panas) yang menuju permukaan tubuh akan berkurang, dan panas tubuh yang terjadi di bagian inti tubuh tetap memelihara suhu inti tubuh. Epinefrin yang dilepas akibat rangsangan saraf simpatis akan meningkatkan metabolisme tubuh dan tonus otot, sehingga terjadi proses menggigil dan penderita berusaha menggunakan pakaian tebal serta melipat bagian-bagian tubuh tertentu untuk mengurangi penguapan. 

Selama demam arginine vasopresin (AVP), alpha melanocyte-stimulating hormone, dan corticotropin releasing factor akan dilepas oleh tubuh. Zat ini menurunkan reaksi demam. Efek antipiretik ini akan membuat rangkaian umpan balik terhadap hipotalamus. AVP atau hormon anti diuresis yang diproduksi selama demam akan menimbulkan retensi air oleh ginjal dan hal inilah mungkin yang berperan dalam pengaturan suhu tubuh pada saat demam. Tetapi mekanisme kerja dari antipiretik endogen ini sampai saat ini belum jelas. Pada mulanya yang dianggap sebagai pemicu reaksi demam adalah infeksi dan produk-produk infeksi, dalam perkembangan selanjutnya ternyata beberapa molekul endogen seperti kompleks antigen-antibodi, komplemen, produk limfosit dan inflammation bile acids juga dapat merangsang pelepasan pirogen sitokin.


Tabel 1. Pemicu Lepasnya Pirogen Endogen
Mikroba
Virus,bakteri, jamur, parasit
Toksin mikroba
Endotoksin
Eksotoksin
      Enterotoksin, toksin-1, sindroma syok-toksin,
      Streptokokal pirogenik, toksin eritrogenik

Produk-produk mikroba
Peptidoglikan, peptida, muramil, asam lipotekoik,
lipoarabinomanan, rhamnose glycose polymers

Komponen imun dan sitokin
Kompleks antigen-antibodi, komplemen (C5a, C3a), produk limfosit (IL-2, IFN), sitokin pirogenik (IL-1, TNF- α)

Obat-obatan
Etiokolanalon, bleomisin, penisilin

Tumor
Sitokin pirogenik yang diproduksi oleh sel tumor



Pola-pola Demam 

Beberapa pola demam beserta definisinya masing-masing, yaitu : 
1. Continuous (sustained) fever / febris continua 
Merupakan demam terus menerus dengan suhu tinggi, fluktuasi minimal, penurunan suhu tidak lebih dari 1° F (0,6° C) setiap harinya. Contoh : demam tifoid, brucellosis, tularemia, penyakit rickettsia, psittacosis, pneumonia lobaris, pneumonia pneumococcal, dan demam pada pasien koma.

2. Intermittent (septic, quotidian, hectic) fever / febris intermittent 
Ditandai dengan fluktuasi suhu yang lebar setiap hari, suhu tubuh akan normal atau rendah pada pagi hari dan mencapai puncak demam pada pukul 4 sore hingga pukul 8 malam dengan perbedaan suhu tertinggi dan terendah setiap harinya > 1° C. Contoh : infeksi piogenik lokalisata dengan bakteriemia dan endokarditis bakterial, tuberkulosis disseminata, pielonefritis akut dengan bakteriemia, malaria (disebut quotidian bila demam intermiten terjadi setiap hari, tertiana bila demam intermiten terjadi setiap hari ketiga, atau malaria quartana bila demam intermiten terjadi setiap hari keempat).

3. Double fever spike 
Termasuk pola demam intermitten, setiap hari terdapat dua puncak demam. Terjadi pada TB milier, endokarditis oleh gonokokus dan meningokokus, infeksi ganda oleh 2 jenis malaria, dan penggunaan antipiretik secara sporadik pada pasien demam.

4. Intermittent hepatic (Charcot’s) fever 
Demam dengan episode sporadik, terdapat gap antara periode demam dengan periode tanpa demam. Merupakan pola demam pada cholangitis. 

5. Remittent fever/ febris remittent 
Merupakan pola demam yang mirip intermittent, namun fluktuasinya tidak lebih dari 1°C setiap harinya, dan temperatur tubuh tidak pernah mencapai normal. Contoh : infeksi akut virus pada saluran nafas, pneumonia mikoplasma, dan pada malaria falciparum.

6. Saddle back (biphasic) fever / febris dromedaris/ febris camelback 
Terdapat beberapa hari periode demam, diikuti beberapa hari periode tanpa demam, kemudian terjadi demam lagi. Pola ini terjadi pada demam dengue dan yellow fever, Colorado tick fever, Rift Valley fever, influenza, poliomielitis dan choriomeningitis limfositik.

7. Pel-Ebstein fever 
Merupakan pola demam dengan karakteristik terdapat demam untuk periode waktu yang panjang (dalam kurun waktu seminggu), diikuti periode tanpa demam yang sama panjangnya, dan siklus ini terus menerus berulang. Terjadi pada Hodgkin, brucellosis tipe Brucella melitensis, dan pada relapsing fever. 

8. Reaksi Jarisch-Herxheimer 
Terjadi peningkatan suhu yang tajam dan manifestasi klinis eksaserbasi beberapa jam setelah dimulainya terapi dengan penisillin pada sifilis primer atau sekunder. Terjadi juga pada leptospirosis, tick-borne relapsing fever, dan pada pemberian terapi tetrasiklin atau kloramfenikol pada brusellosis akut.

Pemberian dan Mekanisme Antipiretik 

Terjadinya demam dapat dihambat dengan cara memutus rangkaian reaksi yang terjadi, mulai dari pelepasan pirogen endogen dari sel-sel makrofag, monosit, limfosit, dan endotel oleh rangsangan pirogen eksogen hingga timbulnya demam. Tetapi dari sekian banyak obat yang pernah diteliti ternyata obat penghambat siklooksigenaselah (Cyclooxygenation inhibition/ COX) yang cukup bermakna dan memuaskan dapat dipergunakan sebagai antipiretik. 

Pelepasan prostaglandin di hipotalamus akan menset termostat lebih tinggi dengan akibat suhu tubuh akan lebih tinggi. Jadi dengan menghambat pembentukannya maka kenaikan suhu tubuh tidak akan terjadi. Obat-obatan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non-Steroid)seperti aspirin, metamizol, ibuprofen, nimesulid, diklofenak, ketoprofen, indometasin, dll adalah obat yang dapat menghambat enzim siklooksigenase dan karena itu obat-obatan ini banyak dipakai sebagai antipiretik. Tetapi karena OAINS selain menghambat COX-2 juga menghambat COX-1 maka penggunaan OAINS dapat menimbulkan efek samping terhadap lambung, ginjal dan trombosit.

Dari sekian banyak obat-obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik, asetaminofen (parasetamol) adalah antipiretik yang dianggap paling aman. Di jaringan perifer asetaminofen adalah penghambat siklooksigenase-2 yang lemah, tetapi di otak oleh sistem sitokorom p-450, asetaminofen ini akan mengalami oksidasi. Asetaminofen yang sudah teroksidasi ini ternyata memiliki sifat penghambat enzim siklooksigenase-2 (COX-2) yang kuat.

Tabel 2. Antipiretik Selektif pada Demam Akut
Antipiretik
Dosis
Catatan
Asetaminofen
325-1000 mg p.o tiap 4-6 jam
Dosis max. 4 gr /hari
Aspirin
325-1000 mg p.o tiap 4-6 jam
Dosis max. 4 gr /hari
Ibuprofen
200-800 mg p.o tiap 6-8 jam
Dosis max. 4 gr /hari
Rofecoxib
12,5-25 mg p.o tiap 24 jam
Penghambat COX-2 selektif

Selain dengan pemberian antipiretik, metode fisik juga dapat digunakan sebagai upaya tambahan untuk menurunkan demam. Prinsip dari metode fisik adalah memfasilitasi pelepasan panas yang lebih besar dari tubuh. 

Telah lama diketahui dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-sehari bahwa kompres air es di tempat-tempat yang banyak darah mengalir (seperti dahi, ketiak, dan lipat paha) dapat menurunkan suhu tubuh. Tetapi dalam perkembangannya ternyata hantaran/ pelepasan panas yang terjadi (dari suhu tinggi ke rendah) tidak begitu besar sedangkan di satu sisi rangsangan dingin yang terjadi dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, menggigil dan vasokonstriksi perifer pada penderita (akibat timbulnya produksi dan retensi panas ) dan selanjutnya dapat memperburuk keadaan demam penderita. Oleh karena itu belakangan ini para ahli lebih menganjurkan kompres air hangat sebagai upaya untuk menurunkan demam. Dengan cara menyeka air hangat-hangat kuku di sekitar tubuh diharapkan akan terjadi vasodilatasi dan perangsangan kelenjar keringat. Akibat vasodilatasi dan produksi keringat yang terjadi maka akan terjadi pelepasan panas yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar