Rabu, 27 Februari 2013

Mata Kuning (Ikterus)

Ikterus atau jaundice adalah perubahan warna jaringan menjadi kekuningan karena penimbunan bilirubin. Ikterus tampak ketika kadar bilirubin melebihi 3 mg/100 ml. Retensi bilirubin di jaringan ini terjadi akibat adanya hiperbilirubinemia serum dan merupakan tanda adanya penyakit hati atau kelainan hemolitik. 

Derajat kenaikan bilirubin dapat diperkirakan melalui pemeriksaan fisik. Kenaikan bilirubin yang ringan dapat dilihat pada sklera, yang memiliki afinitas terhadap bilirubin pada kandungan serat elastinnya. Pada keadaan sklera ikterik diperkirakan kadar bilirubin serum minimal 3 mg/dl. Selain pada sklera, ikterik dapat dilihat juga di mukosa bawah lidah (bila ruang periksa menggunakan cahaya fluoresen). 

Dengan naiknya kadar bilirubin, kulit akan berwarna kekuningan pada orang yang memiliki warna kulit terang dan bahkan kehijauan bila proses ini terus berlangsung. Warna kehijauan ini terjadi akibat oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. 

Diagnosis banding warna kekuningan pada kulit : karotenoderma, penggunaan kuinakrin, dan paparan fenol berlebihan. Karotenoderma terjadi pada orang sehat yang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak karoten, seperti : wortel, sayuran hijau, labu, peach, dan jeruk. Pada karotenoderma, distribusi pigmen terkonsentrasi hanya pada telapak tangan, telapal kaki, dahi, dan lipatan nasolabial (tidak pada sklera seperti pada ikterus). Lain halnya dengan ikterus dimana distribusi warna kuning merata ke seluruh tubuh. 

Sedangkan kuinakrin menyebabkan warna kekuningan di kulit (juga sklera) pada 4-37% pemakainya. 

Indikator lainnya yang sensitif terhadap kenaikan bilirubin serum adalah perubahan warna urine menjadi gelap (menyerupai teh atau cola) akibat eksresi conjugated bilirubin via renal. Bilirubinuria menunjukkan kenaikan kadar bilirubin direk serum dan adanya penyakit hati. 

Kenaikan kadar bilirubin serum terjadi bila ada ketidakseimbangan antara produksi dan klirens bilirubin. 

Produksi dan metabolisme bilirubin 
Evalusi logis penderita dengan ikterus memerlukan pemahaman tentang produksi dan metabolisme bilirubin. 

Bilirubin, suatu pigmen tetrapyrrole, merupakan hasil pemecahan heme (feroprotoporphyrin IX). Sekitar 70-80% dari 250-300 mg bilirubin yang diproduksi tiap harinya berasal dari pemecahan hemoglobin eritrosit. Sisanya berasal dari penghancuran dini sel eritroid di sumsum tulang serta dari turnover hemoprotein seperti mioglobin dan crytochromes jaringan-jaringan di seluruh tubuh. 

Pembentukan bilirubin terjadi di sel-sel retikuloendotelial terutama di limpa dan hati. 

Pada reaksi pertama yang dikatalisa enzim heme-oksigenase, jembatan a protorfirin terpecah dan cincin heme terbuka, sehingga dihasilkan biliverdin, karbon monoksida, dan zat besi. 

Pada reaksi ke-2, yang dikatalisa enzim sitosol biliverdin reduktase, jembatan sentral metilen dari biliverdin tereduksi sehingga diubah menjadi bilirubin. Bilirubin yang terbentuk di sel-sel retikuloendothelial ini tidak larut dalam air. 

Agar dapat diangkut dalam peredaran darah, bilirubin harus dapat larut. Untuk itu bilirubin terikat secara reversibel pada albumin dengan ikatan nonkovalen. Unconjugated bilirubin yang terikat albumin diangkut ke hati dimana akan diambil oleh hepatosit melalui proses yang melibatkan carrier mediated membrane transport. 

Dalam sitosol hepatosit unconjugated bilirubin berpasangan dengan protein ligandin. Ligandin berfungsi memperlambat difusi sitosolik bilirubin dan mengurangi efluxnya kembali ke serum. 

Dalam retikulum endoplasmic, bilirubin akan berkonjugasi dengan asam glukuronat membentuk bilirubin monoglukoronid dan diglukoronid yang larut dalam air. Konjugasi dengan glukoronat ini dikatalisa oleh enzim bilirubin uridine-diphospate (UDP) glucuronosyl transferase. 

Selanjutnya conjugated bilirubin yang hidrofilik ini berdifusi dari retikulum endoplasmik ke membran kanalikular dimana bilirubin mono dan diglukoronid ini akan ditransport aktif ke canalicular bile melalui mekanisme energy dependent yang melibatkan multiple organic ion transport protein/multiple drug resistant protein. 

Conjugated bilirubin akan diekskresikan melalui aliran empedu ke duodenum sampai proksimal usus halus. Conjugated bilirubin ini tidak akan diserap oleh mukosa usus halus. Ketika conjugated bilirubin mencapai bagian distal dari ileum dan kolon, akan dihidrolisa menjadi unconjugated bilirubin oleh bakterial b-glucuronidase. Unconjugated bilirubin akan direduksi oleh bakteri usus normal menjadi urobilinogen (suatu kelompok tetrapyrole yang tidak berwarna). 

Sekitar 80-90% urobilinogen akan diekskresikan melalui feses, baik dalam bentuk yang tidak berubah atau teroksidasi menjadi urobilin yang berwarna kuning tua. Sisa urobilinogen (10-20%) akan diabsorpsi pasif, memasuki aliran darah vena portal, dan diekskresikan kembali oleh hati. Sejumlah kecil conjugated bilirubin disaring biasanya kurang dari 3 mg/dl keluar dari hepatic uptake, disaring melalui glomerulus, sebagian besar direabsorpsi di tubulus proksimal, dan sebagian kecilnya diekskresikan dalam urin. 

Konsentrasi bilirubin serum normalnya < 1 mg/dl. Sampai 30% nya (0,3 mg/dl) adalah conjugated bilirubin. Pada populasi normal kadar bilirubin serum total berkisar antara 0,2 - 0,9 mg/dl. 

Evaluasi Penderita Ikterus 
Bilirubin yang terdapat dalam serum menggambarkan keseimbangan antara produksi bilirubin dan pembuangan pigmen tersebut melalui hepatic atau biliari. 

Hiperbilirubinemi dapat berasal dari : 
1. Produksi bilirubin berlebihan 
2. Gangguan pada proses uptake, konjugasi atau ekskresi bilirubin 
3. Regurgitasi dari hepatosit atau saluran empedu yang rusak. 

Kenaikan dari unconjugated bilirubin serum berasal dari produksi berlebihan, gangguan uptake atau konjugasi bilirubin. 
Kenaikan conjugated bilirubin karena berkurangnya ekskresi melalui saluran empedu atau backward leakage. 

Langkah pertama dalam mengevaluasi pasien adalah menentukan : 
1. Apakah hiperbilirubin ini berasal dari conjugated atau unconjugated bilirubin 
2. Apakah ada kelainan biokimiawi hati. 

Hiperbilirubinemi indirek (unconjugated) 
Penting untuk dibedakan apakah yang diderita pasien adalah suatu proses hemolitik karena produksi bilirubin yang berlebihan (penyakit hemolitik dan eritropoiesis yang tidak efektif) atau suatu gangguan hepatic uptake/kojugasi bilirubin (karena efek obat atau kelainan genetik). 

Penyakit hemolitik yang menyebabkan produksi heme berlebihan dapat terjadi secara diturunkan atau didapat. Kelainan herediter termasuk di dalamnya : sferositosis, anemia sel sabit, defisiensi enzim eritrosit seperti piruvat kinase dan glukosa-6 fosfat dehidrogenase. Pada keadaan-keadaan tersebut, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl. Kadar bilirubin dapat lebih tinggi bila disertai disfungsi hati atau ginjal, juga pada kedaan hemolisis akut seperti pada krisis sel sabit. 

Dalam mengevaluasi pasien ikterus pada keadaan hemolisis kronis, penting untuk diingat bahwa sering ditemukan batu empedu berpigmen (calcium bilirubinate) yang berakibat terjadinya kholedokholithiasis yang menjelaskan hiperbilirubinemia. 

Penyakit hemolitik yang didapat termasuk : anemia hemolitik mikroangiopatik (misalnya sindrom hemolitik-uremik), paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, dan hemolisis imun. 

Eritropoiesis yang tidak efektif dijumpai pada keadaan defisiensi kobalamin, folat, dan Fe. 

Bila tidak terdapat hemolisis, dokter harus memikirkan problem hepatic-uptake atau konjugasi bilirubin. Obat-obat tertentu seperti rifampisin dan probenesid, dapat menyebabkan hiperbilirubinemi indirek (unconjugated) dengan cara mengurangi hepatic-uptake bilirubin. 

Gangguan konjugasi bilirubin terjadi pada 3 kelainan bawaan, yaitu : sindrom Criggler-Najjar tipe I dan II, serta sindrom Gilbert. Sindrom Criggler-Najjar tipe I merupakan keadaan yang sangat jarang, ditemukan pada neonatus, ditandai dengan ikterus yang berat (bilirubin >20 mg/dl) dan gangguan neurologis fatal yang mengarah ke kern ikterus. Penderitanya sama sekali tidak memiliki aktivitas enzim bilirubin UDP glucuronosyltransferase akibat mutasi gen enzim ini pada posisi domain 3’ dan sama sekali tidak mampu mengkonjugasi bilirubin, sehingga ekskresi bilirubin tidak terjadi. Satu-satunya pilihan terapi yang efektif adalah transplantasi hati orthotopic. 

Sindrom Criggler-Najjar tipe II lebih sering terjadi dibandingkan tipe I. Penderitanya dapat tumbuh sampai dewasa dengan kadar serum bilirubin berkisar antara 6-25 mg/dl. Pada penderita kelainan ini, aktivitas enzim bilirubin UDP glucuronosyltransferase berkurang tetapi tidak hilang sama sekali akibat mutasi pada gennya. Aktivitas enzim ini dapat diinduksi oleh pemberian fenobarbital, sehingga kadar bilirubin pada penderita akan berkurang. Meskipun ikterus pada penderita ini tampak jelas, namun penderitanya dapat bertahan sampai dewasa dengan kemungkinan terjadinya kernikterus karena penyakitnya sendiri atau prosedur bedah. 

Hiperbilirubinemi direk (conjugated) 
Ditemukan pada penderita dengan kelainan bawaan yang jarang berupa sindrom Dubin-Johnson dan Rotor. Penderita kedua sindrom ini mengalami ikterus asimtomatis, yang khas akan timbul pada generasi ke-dua. 

Pada sindrom Dubin-Johnson, defek yang terjadi berupa mutasi titik pada gen transporter canalicular multispecific organic anion. Penderitanya memiliki pengurangan kemampuan ekskresi bilirubin ke dalam saluran empedu. 
Pada sindrom Rotor, penderitanya mempunyai problem dalam menyimpan bilirubin di hati. 
Kedua kelainan ini sebenarnya dapat dibedakan, namun secara klinis tidak penting karena sifatnya ringan. 

Kenaikan bilirubin serum dengan abnormalitas fungsi hati lainnya 
Hiperbilirubinemi direk dengan abnormalitas fungsi hati lainnya harus dibedakan antara proses hepatoselular primer dan kolestatik intra/ekstrahepatik. Diferensiasinya diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. 

Anamnesis 
Anamnesis medis yang lengkap barangkali satu-satunya bagian terpenting dari evaluasi penderita dengan unexplained jaundice. Harus dipikirkan penggunaan obat-obatan atau paparan zat kimia tertentu, baik di bawah pengawasan dokter atau tidak seperti jamu dan vitamin, serta anabolik steroid. Penderita harus ditanyakan dengan seksama mengenai pemakaian obat parenteral (transfusi, obat intra-vena/via nasal, obat-obat anestesi), tato, aktivitas seksual, riwayat travelling baru-baru ini, kontak dengan penderita sakit kuning, paparan dengan makanan yang terkontaminasi, paparan pekerjaan dengan bahan-bahan hepatotoksik, konsumsi alkohol, lamanya ikterus, dan adanya gejala-gejala penyerta lain ( artralgia, mialgia, ruam kulit, anoreksia, turunnya berat badan, nyeri perut, demam, pruritus, serta perubahan urine dan feses ). 

Adanya artralgia dan mialgia yang mendahului ikterus cenderung ke arah hepatitis, baik viral maupun akibat obat. Anoreksia, nausea, malaise, dan febris yang mendadak pada penderita dewasa muda cenderung ke arah hepatitis viral. 

Episode berulang nyeri epigastrium dan kuadran kanan atas abdomen yang mendahului ikterus pada penderita setengah baya atau lansia, cenderung ke arah penyakit traktus bilier. Ikterus yang disertai nyeri perut mendadak hebat di kuadran kanan atas dan menggigil hebat (demam tinggi) cenderung ke arah kholedokholithiasis dan ascending cholangitis. 

Ikterus dengan riwayat penyalahgunaan alkohol lama sesuai dengan hepatitis alkoholik. 

Turunnya berat badan kronik disertai kelemahan tubuh yang mendahului ikterus, sugestif ke arah keganasan. Gejala-gejala ini bila disertai depresi, flebitis, dan nyeri epigastrium, mengarah ke ca pankreas. 

Riwayat pekerjaan tertentu dapat mengarah ke toxin-induced liver disease. 

Riwayat keluarga dengan ikterus memperbesar kemungkinan ganguan hemolitik seperti penyakit Wilson, sindrom Gilbert, dan defisiensi a-1-antitripsin. 

Pemeriksaan fisik 
Pemeriksaan fisik umum harus mencakup penilaian status nutrisi. Temporal and proximal muscle wasting cenderung ke arah penyakit kronis seperti keganasan pankreas atau sirosis. 

Stigmata penyakit hati kronis termasuk spider naevi, eritema palmaris, white nails, ginekomasti, caput medussae, kontraktur Dupuytren’s, pembesaran kelenjar parotis, dan atrofi testis, sering dijumpai pada sirosis Laennec (sirosis alkoholik lanjut) dan kadang pada sirosis lainnya. 

Kayser-Fleischer rings dan perubahan neuropsikiatrik sugestif untuk penyakit Wilson. 

Pigmentasi abu-abu ke arah hemokromatosis. 

Distensi vena jugularis, tanda-tanda gagal jantung kanan atau gagal jantung kiri yang berat, ke arah kongesti pasif (bendungan hati) atau iskemi hepatoseluler. Efusi pleura kanan tanpa ascites yang mencolok, menunjukkan sirosis lanjut. 

Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikular kiri (Virchow’s node) atau nodul periumbilikal (Sister Mary Joseph’s nodule) menunjukkan malignansi abdomen. 

Pemeriksaan abdomen harus berpusat pada ukuran dan konsistensi hati, lien teraba/membesar atau tidak, serta apakah ada asites. Pada penderita sirosis dapat dijumpai pembesaran lobus kiri hati yang teraba di bawah xiphoid, serta splenomegali. Gross hepatomegali dengan perabaan noduler atau massa abdomen yang besar cenderung menunjukkan keganasan. Hepatomegali yang nyeri dapat terjadi pada hepatitis viral atau hepatitis alkoholik, atau yang lebih jarang pada bendungan hati akut pada gagal jantung kanan. 

Nyeri hebat kuadran kanan atas dengan henti nafas saat inspirasi (Murphy’s sign) menunjukkan kholesistitis atau kadang-kadang ascending kholangitis. 

Asites, splenomegali, dilatasi vena dinding perut, dan periumbilical venous hum, mengarah ke hipertensi portal. 

Asites pada ikterus dapat menunjukkan adanya sirosis atau keganasan dengan metastasis peritoneal. Terabanya kandung empedu tanpa disertai nyeri, ke arah karsinoma pankreas. 

L a b o r a t o r i u m 
Evaluasi pertama yang perlu dilakukan pada penderita dengan ikterus adalah pemeriksaan : 
§ bilirubin serum total dan bilirubin direk dengan fraksionasi, 
§ enzim : aminotransferase (ALT, AST) dan alkali fosfatase, 
§ albumin, dan 
§ prothrombin time. 

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut akan membantu membedakan proses hepatoseluler dengan proses kholestatik, yang penyebabnya berbeda dan akan menentukan evaluasi dan penatalaksanaan selanjutnya. 

Pemeriksaan bilirubin direk spesifik untuk penyakit hepatobilier, walaupun (pada >30% kasus) kadar bilirubin totalnya masih normal. Pemeriksaan bilirubin urine juga dapat menunjukkan kelainan hati yang masih ringan, karena bilirubin urine berasal dari bilirubin direk. 

Penderita dengan proses hepatoseluler, umumnya memiliki kenaikan aminotransferase yang tidak sebanding dengan kenaikan alkali fosfatase. Penderita proses kholestatik sebaliknya. Sedangkan bilirubin dapat meningkat pada kedua proses tersebut. AST dijumpai pada jantung, hati, otot skelet, ginjal, dan pankreas. ALT walaupun terdistribusi luas pada tubuh, namun terutama berasal dari hati sehingga pemeriksaan ALT lebih spesifik dalam mendeteksi penyakit hati. ALT dan AST merupakan tes yang spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatoseluler. Kadar transaminase melebihi 10x normal menunjukkan kerusakan hepatoseluler yang akut, seperti : hepatitis viral, hepatitis karena obat atau toksin, penyakit hati iskemik, atau kholangitis. Rasio AST : ALT >2 sugestif untuk penyakit hati alkoholik. Pada umumnya kadar AST dan ALT tidak menggambarkan prognosis. 

Alkali fosfatase serum normalnya berasal dari hati, tulang, plasenta, dan usus halus. Alkali fosfatase sensitif untuk mendeteksi obstruksi dini saluran empedu intra maupu ekstra hepatik (seringkali saat ikterus belum terlihat), juga menunjukkan penyakit infiltratif (seperti tuberkulosis, sarkoidosis), serta space-occupying lesions (abses, neoplasma). Alkali fosfatase membantu membedakan proses hepatoseluler dari ikterus obstruktif. Nilai alkali fosfatase >5 kali normal menunjukkan obstruksi. Alkali fosfatase juga meningkat pada penyakit tulang dan pada kehamilan. 

Spesifisitas yang lebih tinggi untuk menunjukkan penyakit hati adalah dengan pemeriksaan gamma glutamil transpeptidase serum (g-GT), karena enzim ini tidak meningkat pada penyakit tulang maupun pada kehamilan. Gamma glutamil transpeptidase serum dijumpai pada ginjal, hati, dan pankreas. Pada penderita dengan kenaikan alkali fosfatase karena penyakit tulang atau pada kehamilan, kadar g-GT normal. Enzim 5-nukleotidase serum juga meningkat pada penyakit hati tetapi tidak pada penyakit tulang, namun meningkat pada kehamilan. 

Kadar albumin serum (seperti prothrombine-time) merupakan indikator yang baik untuk menilai cadangan fungsi hati. Namun karena waktu paruhnya yang panjang (20-26 hari), adanya kerusakan hati tidak dapat cepat dideteksi. Albumin yang rendah menunjukkan proses kronik seperti sirosis atau keganasan. Albumin normal menunjukkan proses yang lebih akut seperti hepatitis viral atau kholedokholithiasis. 

Kadar g-globulin cenderung untuk meningkat pada penyakit hati kronis. Peningkatan yang bermakna (>3 gr/dl) sugestif untuk hepatitis kronik aktif autoimun. 

a-1-globulin cenderung rendah pada penyakit hepatoseluler. Bila enzim ini tidak ditemukan, sugestif untuk menunjukkan defisiensi a-1-antitripsin yang homozigot. 

Prothrombine-time (PT) menggambarkan aktivitas fibrinogen, protrombin, dan faktor V, VII, X. PT tergantung dari sintesis faktor-faktor ini di dalam hati dan dari absorpsi vitamin K dari usus. Prothrombine time memanjang menggambarkan defisiensi vitamin K karena ikterus berkepanjangan dan malabsorpsi vitamin K, atau menunjukkan disfungsi hepatoseluler yang signifikan. Bila pemanjangan prothrombine time tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K parenteral, maka terdapat kerusakan hepatoseluler yang berat. Hipoprotrombinemi yang berkaitan dengan defisiensi garam empedu dapat diperbaiki, sedangkan bila terjadi sekunder akibat penyakit hati, tidak dapat dikoreksi. 

Pemeriksaan PT membantu dalam menilai luasnya kerusakan hati dan menentukan prognosis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar